Menjadi seorang pemalu, kurang PD atau lebih dekat dengan kepribadian introvert itu sangat menyebalkan. Tapi, tidak bisa dipungkiri hal itu adalah karakter, dan semua orang punya karakter masing – masing.
Beberapa tahun yang lalu, aku pernah mengalami suatu hal yang sangat tidak enak sebenarnya untuk dikisahkan. Namun, ini sebagai pembelajaran bagi kita, aku, dan kamu yang sedang membaca tulisan ini.
Aku ingin sekali membunuh.
Perasaan ini terjadi karena ada persoalan yang sangat mengganggu. Pikiranku jadi kacau, dan sungguh kalau bukan karena mengingatNya, mungkin akan terjadi, rencana, cara, bahkan situasi pasca dari keinginan itu sudah aku kalkulasikan akibatnya.
Aku bukan tipe orang yang suka bersahutan, di kala bertengkar. Sebenarnya aku tipe pengalah, karena dari kecil sudah diajarkan, “kalau ada teman yang mengejekmu, lari jangan balas.” Ajaran itu tertancap, dalam sanubariku. Tapi, hal itu membuat aku terlihat lemah, bagi sebagian orang yang tidak mengerti kepribadianku.
Ketika di kerumunan, aku hanya lah pendengar yang baik. Oleh sebagian orang tak suka, dengan aku yang pendiam. Dan karena sifat tak suka banyak bicara inilah, aku lebih mudah dikira yang aneh – aneh.
Terkadang penilaian seseorang terhadap introvert begitu jelek. Sebagai contoh,
Ketika di pergaulan sekolah, anak yang introvert akan dicap sebagai culun.
Di dunia pekerjaan seorang introvert didaulat sebagai manusia idealis, yang tak mau bersekongkol.
Di ranah agama, hati – hati. Seorang introvert akan dicap sebagai pembawa ajaran baru, atau lebih seram akan dilabeli seorang teroris, dan sangat mudah bagi mereka yang tak paham, mengenai kepribadian ini.
Kembali ke pembahasan, rencana saya pernah ingin sekali membunuh seseorang, dikarenakan suatu fitnah. Pasca fitnah yang berkembang, membuat aku tak tahan. Karena aku seorang introvert dan malas harus banyak omong untuk membuktikan bahwa apa yang difitnahkan itu sebenarnya tak ada pada diriku, terbesit lah keinginan itu.
Semakin besar tekanan orang – orang semakin mantap malamnya aku menyusun rencana. Semakin moncer omongan orang, malamnya aku sibuk membuat peta kejadian. Seakan seperti seorang pembunuh berdarah dingin sekaligus pembunuh bayaran.
Pikiran ini kalut. Entah apa yang mengilhami diri ini. Beberapa minggu kemudian aku membaca sebuah artikel yang membahas tentang mengapa seorang BJ Habibie menulis. Ternyata itu adalah sebuah terapi bagi beliau karena sedih berat ditinggal sang istri.
Aku mulai merenung. Mengapa diri ini hampir saja melakukan hal yang sangat berbahaya, yaitu berencana menghabisi nyawa orang lain. Akhirnya aku berusaha, menulis, apapun itu. Entah curhatan “kegilaan” perasaan ini, puisi, sampai cerpen.
Ada sebuah pernyataan mengatakan kalau ingin melihat karakter penulis, lihatlah tulisannya. Dan hal itu benar adanya. Kalau teman – teman melihat cerpen ku yang berjudul ” BERGAJI DARAH” itu sebenarnya bagian dari curahan emosi ketika aku tak bisa, atau lebih tepatnya tak sanggup merealisasikan niat, keinginanku untuk membunuh seseorang.
Tokoh yang dihadirkan pun cukup mewakili karakter aku sebagai penulis ceritanya. Dengan sedikit bermain plot twist, tak disangka seorang yang pendiam, sanggup menghabisi si mandor sawit dengan alat dodos.
Tentu cerpen itu tidak menggambarkan dengan gamblang, kengerian bahkan kesadisan,tidak. Saya berusaha hanya memainkan emosi pembaca, dengan sedikit eksekusi atau ending yang menggambarkan bahwa tokoh utama lah pembunuh itu.
Jadi, sedikit banyaknya karya penulis, pasti ada yang mewakili emosinya secara pribadi.
Namun, bukan berarti semua tulisan saya bertemakan pembunuhan.
Hal yang perlu saya sampaikan sebenarnya adalah, menulis bisa jadi alternatif pengobatan jiwa. Dan saya merasakan hal tersebut. Semoga tulisan ini bermanfaat, dan mohon maaf jika, ada hal yang tidak berkenan.