Orang bilang tak ada sunset di Sanggau. Aku hanya tertawa mendengar ledekan mereka. Aku paham daerahku tak ada laut yang meluas, pantai yang memanjang dan ombak yang menghempas. Hanya kota perlintasan, kata para supir truk kotaku hanya tempat menumpang pipis.
Namun, terkadang timbul kesal juga di dalam dada. Ingin membuktikan bahwa ada senja yang belum pernah mereka lihat. Senja yang berbeda, sunset yang merayu di ujung cakrawala hilir sungai Kapuas.
Beberapa kali aku ajak mereka sehabis mengantar barang ke daerah hulu. Ke tempat itu, namun teman – temanku yang dari kota hilir tak ingin melihatnya. Malah mengolokku dan membandingkan kemolekan senja di laut hilir lebih cantik dari senja Sanggau ini.
“Sanggau nie tak ade laot, Boy. Ape yang nak di tengok. Paling kau liat kayu hanyut jak di Kapuas tu,” ledek temanku saat berhenti sebentar buang air kecil di semak jalanan.
“Kalau kau ikut aku ke tempat itu, kau akan lihat sunset yang memukau, Ju. Di atas bukit kau akan lihat kilaunya senja menyelimuti sungai Kapuas. Saja mantap,” belaku lagi saat menaiki mobil boks.
Mulut temanku mencibir dengan asap rokok yang mengolok. Aku semakin sakit hati.Walaupun Sanggau ini tak ada laut, jangan serta merta mengatai senja di sini jelek. Luasnya lautan di hilir sana bisa jadi terlihat angkuh. Berusaha mencari muka dengan ombaknya yang suka memaki. Belum lagi burung – burung laut yang katanya suka mengolok, berkaok – kaok berusaha memudarkan kecantikan senja.
Asal tahu saja, senja di Sanggau, apalagi di tempat yang akan kukenalkan itu. Senja yang masih polos, sunset yang pendiam, siapa yang tak mengidamkannya. Tak ada ombak yang memaki, menghempas, berusaha mencari perhatian agar selalu dipuja – puji. Kapuas akan tenang, menyantun dengan riak yang seakan berbisik. Takut mengganggu keindahan senja yang datang tak berlama. Burung layanganpun tak berkaok – kaok, mereka hanya terbang naik turun, mengepakkan sayap seakan mengucapkan salam kepada senja.
Tak akan kalian paham. Iya, olokan kalian itu membuat aku semakin ingin menunjukan senja yang lain dari yang di laut sana.
***
“Sanggau nie hanya perlintasan, udah! Sebagus apapun senja yang akan kau tunjukkan pada kami tak akan membuat kami kagum, kaget apalagi.”
“Kalian harus melihatnya dulu, mengapa lalu memvonis senja yang belum kalian lihat, hanya karena daerahku itu, sebagai tempat buang air kecil!?” aku semakin kesal.
“Kalau kau di kota kami, kau akan lihat banyak yang menemani senja itu. Laut akan menjadi meja hidang untuk santapan sore. Taman menjadi hidangan pembuka, air mancur menjadi minuman yang menghilangkan penat dan dahaga, burung – burung akan menjadi pengiring harmoni yang menentramkan. Barulah kemudian kau akan kagum dengan sunset yang menjadi hidangan utamanya.”
Muak aku mendengar kalimat pujian temanku itu. Seakan ia tak menghargai senja di daerahku. Mereka tak tahu senja akan cemburu dengan pandangan yang tak fokus kepadanya. Mereka belum memahami senja, belum pernah bercakap dengan senja. Apalagi dipeluk senja itu. Tak pernah.
Mereka terlalu disibukkan dengan hal – hal yang tak seharusnya dinikmati. Pembangunan yang wah, taman – taman dan berbagai tempat bermain anak, bahkan orang dewasa. Mereka belum pernah dibisik senja.
“Itu semua akan sirna, kau kagumi aku yang berasal dari Tuhanmu. Sama seperti aku menghargai dirimu. Tak akan aku merusak matamu dengan cahayaku, aku akan meredupkannya. Aku selimuti dirimu dengan hangat yang tak menyakitkan. Karena kita ini akan pergi, pergi kepadaNya. Aku tak akan lama menunjukkan diri padamu, seperti usia yang sudah menghujung waktu. Aku Senja, esok kita akan bertemu.”
Siapa yang tak akan bahagia bila senja bercengkrama dengan kita. Berbisik lembut dan membelai dengan manja. Aku selalu memuji senja di daerahku. Karena ia lebih dekat denganku, lebih memahamiku dan akupun akan tetap menjaganya.
Biarlah suatu hari nanti, teman – temanku akan tahu tempat yang aku maksud. Tempat di mana mereka bisa bertemu senja yang bersahabat itu.
***
Akhirnya teman – temanku kupaksakan bertemu dengan senja di Sanggau ini. Kota yang kata mereka hanya perlintasan, kota persinggahan pipis, dan kota yang tak ada sunset. Walaupun kutahu mereka berat, bahkan ada yang menangis. Aku tak tahu apakah tangisannya karena penolakan. Sungguh gila, bila keberatan itu, sampai menitikkan air mata.
Kulihat mereka mulai menapaki tangga bukit. Perlahan, seakan mereka menghitung setiap bilahan anak tangga yang terinjak. Sesekali mereka berbisik, entah apa yang dibisikkan. Karena sekarang mereka tak akan bisa mengolokku lagi, aku tidak sendiri. Keluargaku, ayah, ibu, abang, kakak, sampai paman – paman dan rekan kerja lainnya ikut denganku. Seakan memberi dukungan atas pembuktianku terhadap senja.
Teman – temanku menunduk seakan kalah sebelum perang. Aku hanya tersenyum, namun mereka sepertinya tak ingin melihatku. Sebentar lagi kalian akan lihat senja itu. Senja dari bukit pemakaman Cina ini. Senja yang juga akan mendukungku, menemaniku dan ikut membelaku.
Aku tak tahu perasaan teman – temanku itu. Tapi ketika senja menghampiri mereka, kulihat raut wajah yang lain dari mereka. Ada suatu kebahagiaan yang muncul setelah kedukaan yang berlalu. Mereka terus menatap jauh ke arah Sungai Kapuas. Melihat pantulan jingga yang lembut. Pepohonan yang lebat di pinggiran Kapuas mulai berselimutkan petang, yang membuat bayang – bayangnya seperti mengalah demi menunjukkan eksistensi kelembutan cahaya mentari sore yang juga akan segera berpamitan. Menatap sunset yang memalu. Riak yang memilu, dan kepakan sayap burung layangan yang mendayu.
Apakah mereka kagum dengan kesederhanaan senja di sini?
Aku tersadar ketika senja memelukku. Tanpa memedulikan teman – temanku lagi aku berbisik kepada senja yang datang.
“Apakah kau akan menjemputku?”
Senja hanya tersenyum. Baru kali ini aku melihat langsung senyum indah senja.
“Berapa lama lagi aku akan bertemu denganNya?” Tanyaku lagi pada Senja.
“Tunggulah dulu beberapa saat, nikmati saja perpisahan dengan mereka.”
“Senja, apakah kau mau berjanji denganku?”
Senja semakin memudar, dan raut wajah teman – temanku kembali sayu.
“Apa?” tanya senja dengan senyum jingganya.
“Setelah aku pergi, maukah kau tetap menemani orang – orang yang tak menghargai dirimu?”
“Seperti mereka?” senja menoleh ke teman – temanku.
Aku tak menjawab. Senja semakin erat memelukku. Semakin hangat, menuju gelap yang akan mengantarkan aku padaNya.
Penulis : Dodi Goyon