Kedai Kopi

Titaa… mane bapakmu niih?” emak  berteriak dengan lengkingan tujuh oktaf tangga nada sehingga tetangga sebelah rumah kami pun pasti mendengarnya.

“Tak tau Mak e, tadi bapak tuh nyari Emak, Kamek bilanglah Mak rumah nenek sebelah, teros bapak langsung pergi pake motornye tuh.” Aku menjawab dengan logat Melayu Pontianak yang merupakan bahasa sehari-hari kami di rumah.

Apakah aku berdosa berbohong pada emak, padahal aku tahu kalau bapak pergi ke kedai kopi yang ada di persimpangan jalan menuju kompleks rumah kami. Bapak tuh tipe suami yang selalu berpamitan kalau pergi. Kalau tidak sama aku ya sama emak.

Tapi semenjak kedai kopi tempat langganan bapak kumpul bersama teman-temanya mempunyai karyawan baru. Nah emak bawaannya illfeel. Karena gosip beredar di kompleks, pelayan baru kedai kopi itu seorang janda muda yang cantik.

“Cantek ye pelayan kedai kopi depan tuh, pantaslah bang Joni niih, malah jak nak ke kedai tuh, banyak alasannye, nak beli rokoklah, inilah itulah. Ah, nanti sore tuh mulai die carek alasan agek, aah korek api gas tinggal siketlah. Ah aku bilang, alaaah bilang jak kau nak liat jande tuh kan!  kesal aku.” Kak Hasna bercerita kepada beberapa orang emak-emak yang sedang belanja dengan Kang Usup tukang sayur keliling.

Termasuk emak yang mendengar dengan kuping panas dan wajah cemberut.

Pernah waktu itu Bapak di telepon pak RT kami untuk rapat pembentukan panitia hari kemerdekaan RI. Pak RT kami sangat dekat sama bapak. Beliau baru saja mendapat musibah, istrinya sebulan yang lalu meninggal dunia.

Baru saja bapak mau pergi memenuhi undangan Pak RT, emak bertanya di mana rapatnya? Bapak dengan jujur menjawab di kedai kopi. Spontan emak larang bapak pergi.

Terjadilah pertengkaran mulut yang membuat aku kesal dan akhirnya berteriak. Teriakan membuat bapak dan emak terdiam. Ada perasaan menyesal dengan perbuatanku itu.

“Pak Mak, maafkan Tita ye, tak ade maksod ngomong kasar same Bapak dan Emak.”

“Iye, Bapak paham be Tita, Tita anak baek. Emak kau tah terlalu cemburu butak. Pasti die tuh temakan hasutan Hasna tuh.” Ucap bapak dengan menunjuk tangan ke arah rumah Kak Hasna.

“Ginik jak Pak, kalau Bapak nak ke kedai kopi tuh, Bapak jangan terlalu jujur same emak,” saranku kepada Bapak.

“Eeh Tita…  benar kau tadak tahu bapak kau pergi kemane? tadak pernah bapak kau niih pergi tadak bekabar yee. Heem jangan-jangan die niih pergi ke kedai depan nih.” Emak langsung mengambil kunci motor dan berlalu pergi.

“Alamaaak mati aku, nampak bekelailah mereka berdua di sana tuh,” gumamku.

Cepat aku tutup pintu belakang, kuambil sepeda, dan tak lupa mengunci pintu depan kemudian Kukayuh sepeda secepatnya menyusul emak. Dalam pikiranku berkecamuk membayangkan akan ramai orang menonton pertengkaran suami istri.

Ada satu hal yang paling kutakutkan, emak akan menyerang seorang obyek yang selama ini dibencinya. Iya Janda muda itu!

Sedikit lagi aku akan sampai di kedai kopi, kulihat orang ramai duduk di meja yang dibuat melingkar. Terdengar suara tawa dan kulihat emak ada di sebelah bapak. Emak kok tidak marah-marah malah tersenyum sumringah. Ada apa ini?

“Eh Tita…sini ikut kumpul, sekalian kita mau merayakan sesuatu,” Pak RT menyapaku dengan senyum tampak bahagia.

“Sinik Tita dekat Emak!” Emak  tampak berbeda dari sebelum dia pergi ke sini yang penuh amarah.

Aku melihat janda muda yang cantik itu duduk di sebelah Pak RT, dia  tersenyum-senyum malu saat ada seorang bapak yang sedang berkelakar.

“Nah jadi kesimpulannya, setelah pernikahan tadi malam yang cukup sederhana itu, saya rencananya akan mengadakan pesta pernikahan di bulan depan. Jadi bapak-bapak yang saya undang pagi ini akan saya libatkan jadi panitianya.” Jelas Pak RT dengan saksama.

Oh, jadi ini rupanya yang buat emak hatinya berubah 180 derajat. Janda yang ditakutkan dan dicemburui emak sudah menjadi istri Pak RT.

Akhirnya episode kedai kopi  yang jadi permasalahan di rumah kami pun berakhir damai.

Alhamdulillah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *