CERITA KOTA | Apabila ada oleh-oleh yang berumur panjang, mungkin salah satunya adalah pengalaman. Itulah yang dibawa pulang Varla R. Dhewiyanty, penulis asal Kalimantan Barat yang terpilih menjadi satu dari tujuh emerging writers Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024.
Ia membagikan oleh-oleh tersebut kepada mereka yang hadir dalam diskusi Pasar Buku Membaca Pontianak, di Perpustakaan Rumah Melayu Kalbar, Minggu (20/10/2024).
Varla jadi penulis Kalbar kedua yang terpilih menjadi emerging writers dalam salah satu festival sastra prestisius Indonesia tersebut. Sebelumnya, ada Mardian Sagian yang terpilih di tahun 2015. Dalam seleksi emerging writers tahun 2024, sebanyak 185 penulis dari Indonesia Timur turut mengirimkan karya mereka.
Selama mengikuti MIWF 23-26 Mei lalu, Varla kerasan berada di Makassar. Festival sastra itu membuat siapa saja, bahkan yang bukan penikmati literasi pun, ingin turut menyaksikan. MIWF memang bertujuan menghadirkan festival sastra yang bisa dinikmati oleh siapapun. Mereka konsisten memberikan ruang bagi gerakan-gerakan literasi dan kebudayaan khususnya di kawasan Indonesia Timur. Bayangkan, ada 152 pembicara yang terdiri dari penulis, aktivis, akademisi, seniman, praktisi, dan pegiat literasi yang terlibat melalui kurang lebih 107 program selama empat hari penyelenggaraan. Selain itu, festival ini juga melibatkan pembicara dari Australia dan Jepang.
“Bahkan ketika datang dan dikenalkan sebagai emerging writers dari Kalimantan Barat, banyak yang menyambut dengan hangat. Terasa sekali penerimaan dan kekeluargaannya,” cerita Varla.
Para emerging writers tak hanya datang dan bertindak pasif selama kegiatan. Mereka turut dilibatkan dalam berbagai diskusi. Varla sendiri terlibat dalam beberapa panel, di antaranya menjadi moderator dalam sesi The Mother Writer yang menghadirkan tiga penulis perempuan Indonesia sebagai narasumber, yaitu Ratih Kumala, Cyntha Hariadi, dan Raisa Kamila. Seiring tema MIWF 2024, yaitu m/othering, sesi tersebut membahas pergulatan penulis perempuan yang juga berstatus sebagai ibu. Selain itu, Varla juga mendapat kesempatan membacakan cuplikan cerita pendeknya Rumah dengan Telinga di panggung Under The Poetic Stars MIWF, bersama-sama para emerging writers lainnya.
Pandangannya dalam dunia kepenulisan pun kini jauh terbuka. Ada kesempatan bagi siapa saja untuk mengenalkan apa yang mereka karyakan ke dunia. Dan mereka yang menjadi emerging writers, seperti masuk ke ekosistem baru yang terus merawat semangat mencipta. Layaknya keluarga dari rahim karya.
“Support system itu yang terus memotivasi saya. Termasuk ingin berbagi pengalaman berada di sana pada kawan-kawan di sini,” katanya.
Tak hanya soal pengalaman mengikuti di festival, Varla juga membagikan pengalaman pribadinya perihal kurasi emerging writers. Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika mengirimkan karya untuk diseleksi. Di antaranya adalah ciri khas atau keunikan, kekuatan suara dalam karya, serta eksekusi yang bagus.
“Saya rasa untuk Kalimantan Barat, suara yang berwarna lokalitas dan kearifan lokal memiliki potensi. Namun suara yang bukan lokalitas pun bisa menjadi menarik. Apapun suara yang diangkat, sebaiknya dibarengi oleh eksekusi yang bagus,” urainya.
Varla sendiri banyak menulis mengenai relasi keluarga dan stigma terhadap kesehatan mental. Tiga cerpennya yang diikutkan dalam seleksi MIWF, bercerita tentang kompleksitas relasi dalam keluarga, perkara trauma, dan bagaimana dampak jangka panjangnya dalam siklus hidup seseorang. Menurutnya, hal-hal di atas masih sering diremehkan, padahal bisa berdampak besar.
“Sebagian berita-berita sedih yang kita saksikan saat ini berakar pada perkara yang sering dianggap remeh tersebut.”
Namun dikatakannya, menemukan suara dalam karya memang membutuhkan proses. Dari pengalaman dan pembacaannya, ada beberapa hal yang bisa jadi pegangan. Boleh jadi, itu berangkat dari kegelisahan atau hal-hal yang mengganggu pikiran. Untuk yang satu ini, pengalaman personal dan lingkungan tumbuh juga dapat turut memberikan pengaruh.
Pengalaman personal mungkin saja berpotensi menjadi bahan bakar yang kuat, sehingga suara penulis pun akan semakin kuat. Walau dalam prosesnya, biasanya seorang penulis dengan sendirinya akan belajar berjarak dengan pengalamannya itu, hingga menghasilkan eksekusi tulisan yang baik dan menarik.
“Namun untuk tema-tema yang tidak didasari pengalaman sendiri, biasanya juga diperlukan riset yang baik dan mendalam,” tambahnya.
Akan tetapi eksekusi yang bagus, akan dipengaruhi referensi bacaan yang luas pula. Untuk tema-tema lokalitas, ia merekomendasikan beberapa buku untuk dibaca, seperti karya-karya Faisal Oddang dan Muna Masyari. Untuk lingkup Kalbar, ada karya-karya Mardian Sagian dan novel Danum dari Abroorza A Yusra. Untuk lingkup internasional, karya-karya penulis asing yang sudah diterjemahkan seperti Penerjemah Luka/Interpreter of Maladies dan Makna Sebuah Nama/The Namesake karya Jhumpa Lahiri, atau Pachinko karya Min Jin Lee juga bisa menjadi referensi.
“Saya pernah membaca bahwa penulis yang bagus biasanya juga seorang pembaca yang rakus,” katanya.
Terakhir, yang kerap dianggap sepele namun penting. Curriculum vitae (CV). Setiap seleksi emerging writers MIWF wajib melampirkan dokumen tersebut. Di sanalah tempat untuk memperkenalkan diri, juga menjelaskan visi dan suara dalam berkarya.
“Semoga ke depan ada lagi penulis dari Kalbar di MIWF. Karena bagi saya sendiri MIWF adalah pengalaman yang tak terlupakan, di mana kita bisa bertemu dengan para penulis hebat yang biasanya hanya dapat kita baca karyanya, berdiskusi, dan belajar langsung dari mereka. Sekali lagi, semua hal di atas hanyalah uraian pengalaman dari sudut pandang saya sendiri. Tolong tetap perhatikan juga syarat dan ketentuan terbaru apabila seleksi emerging writers berikutnya sudah dibuka,” akhirnya. (*)
Ikuti terus cerita Pontinesia, dari Pontianak makin tahu Indonesia!
Sumber: https://pontinesia.com/berita/menikmati-oleh-oleh-dari-makassar-international-writers-festival-2024